Pelaksanaan amalan ibadah haji dimulai sejak tanggal 8 Dzulhijjah, dengan rincian sebagai berikut:
1 - Jamaah haji melakukan ihram untuk ibadah haji, dimulai dengan mandi, memakai wewangian serta mengenakan pakaian ihram, sambil ber-talbiyah mengucapkan, “Labbaika allahumma hajjan, labbaika allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaika, innal hamda wan nikmata laka wal mulku la syarika laka.” [HR. Bukhari]
2 - Berangkat menuju Mina dan setelah di Mina, mereka mendirikan shalat zhuhur, ashar, maghrib dan isya serta shalat subuh. Setiap shalat dikerjakan pada waktunya, namun shalat yang jumlah rakaatnya empat diqashar sehingga menjadi dua rakaat. Para jamaah tetap berada di Mina sampai matahari terbit pada tanggal 9 Dzulhijjah.
1 - Jamaah haji berangkat menuju ke Arafah setelah matahari terbit sambil melafazhkan talbiyah. Disunnahkan bagi jama’ah untuk singgah di namirah dan jika memungkinkan berdiam di sana hingga matahari tergelincir, jika memungkinkan. Namirah adalah sebuah tempat yang terletak dekat perbatasan arafah, apabila matahari tergelincir, dan masuk maktu zhuhur. Disunnahkan bagi imam atau orang yang diwakilkan untuk menyampaikan khutbah di hadapan para jama’ah, berkenaan dengan kondisi kaum muslimin, agar kembali memperbaharui tauhid, hukum-hukum seputar ibadah haji, dan perkara-perkara penting lainnya.
2 - Kemudian mereka mendirikan shalat zhuhur dan ashar dengan cara qashar dan jamak taqdim, hari Disunnahkan bagi jama’ah pada hari tersebut menghadap kiblat sambil memperbanyak do’a dengan tadharru’ dan khusyu’ kepada Allah subhanahu wata’ala. dan juga disunnahkan untuk terus-menerus berdo’a dan mengulang-ulangnya. Sebaik-baik do’a yaitu do’a pada arafah; Dan do’a yang paling baik yang aku ucapkan dan para Nabi sebelumku ; La ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahulmulku wa lahulhamdu wa huwa ala kulli syaiin qadiir, (Tidak ada dzat yang berhak disembah kecuali Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dialah pemiliki kekuasaan dan segala pujian dan ia berkuasa atas segala sesuatu.). [HR. Tirmidzi] Disunnahkan juga untuk melafazhkan do’a-do’a ma’tsur, dan meninggalkan do’a-do’a yang tidak dicontohkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila para jama’ah membaca Al Qur’an maka itu lebih baik, dan juga disunnahkan memperbanyak shalawat kepada Nabi.
3 - Para jama’ah haji berang dari arafah menuju muzdalifah setelah matahari terbenam, dan tidak boleh keluar dari arafah sebelum matahari terbenam, apabila seorang keluar sebelum terbenam matahari ia wajib kembali walaupun pada malam hari, karena kalau tidak, maka ia wajib membayar dam (denda) satu ekor kambing, sepertujuh unta atau sepertujuh sapi.
1 - Wukuf di arafah maksudnya adalah para jama’ah berada di padang arafah pada tanggal 9 dzulhijah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring atau dalam kendaraan. Bukan seperti yang diartikan banya orang berdiri (qiyam) saja.
2 - Wukuf di arafah termasuk rukun haji, dan haji tidak sah tanpa mengerjakan wukuf di arafah. Apabila seseorang meninggalkan wukuf berarti dia belum mengerjakan haji. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Pelaksanaan haji adalah wukuf di Arafah “. [HR. Ahmad]
3 - Waktu wukuf di arafah mulai dari terbit fajar tanggal 9 dzulhijah hingga terbit fajar tanggal 10 dzulhijah. Barang siapa yang melakukan wukuf pada waktu tersebut walaupun sebentar, maka ia dianggap telah mengerjakan wukuf, dan hajinya sah. Barang siapa yang tidak mengerjakan wukuf pada waktu tersebut maka hajinya tidak sah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam dari ibnu ‘abbas hadits marfu’ “barang siapa yang mengerjakan wukuf sebelum matahari terbit (pada tanggal 10 dzulhijjah) maka ia telah mengerjakan haji”. [Disahihkan oleh Al-Albani (No. 5995) dalam shahihul jami’]
4 - Semua tempat di arafah adalah tempat wukuf, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan wukuf dekat sebuah bukit di shakhrat sembari meghadap kiblat, dan Beliau tidak naik ke bukit tersebut, dan bersabda ; “disini aku mengerjakan wukuf (bukit dekat shakhrat), dan semua arafah adalah tempat wukuf” [HR. Muslim]. Jika memungkinkan disunnahkan bagi para jama’ah untuk melakukan wukuf di tempat Rasulullah melakukan wukuf, jika tidak, maka ia bisa melakukan wukuf di mana saja di arafah. Tidak sah wukuf seseorang di lembah yang terletak sebelum area arafah, namanya lembah ‘uranah, tidak naik ke bukit, dan tidak menaiki shakhrat. Arafah memiliki batas-batas area yang sudah lama diketahui, dan sekarang tanda-tanda baru sudah dipasang dan luas, sehingga diketahui batas-batasnya dari seluruh penjuru.
5 - Para jama’ah haji dianjurkan untuk meresapi keagungan dan keutamaan hari arafah. karena pada hari itu Allah SWT. membanggakan para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah di hadapan para malaikat-Nya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda” : Tidak ada satu hari yang lebih banyak Allah memerdekakan hamba dari neraka pada hari itu daripada hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah mendekat, kemudian Dia membanggakan mereka (para hamba-Nya yang sedang berkumpul di Arafah) kepada para malaikat. Dia berfirman, ‘Apa keinginan mereka (akan Ku kabulkan)?” . [HR. Muslim] Dianjurkan bagi para jama’ah untuk memanfaat waktu-waktu yang paling afdhal tersebut, untuk memperbaharui taubat, muhasabah diri, dan tidak membuang-buang waktu dengan banyak berjalan, berbicara dan perdebatan.
1 - Jama’ah haji berangkat dari arafah menuju muzdalifah, dan disunnahkan berangkat dengan tenang agar tidak mengganggu orang lain, dan disunnahkan senantiasa melafazhkan talbiyah dan memperbanyak dzikir kepada Allah.
2 - Apabila telah sampai di muzdalifah, maka para jama’ah mengerjakan shalat maghrib kemudian dijama’ dengan shalat isya’ yang diqashar, hal tersebut dilakukan sebelum para jama’ah disibukkan dengan barang-barangnya.
3 - Wajib hukumnya bermalam di muzdalifah pada malam kesepuluh dan mengerjakan shalat subuh pada waktu fajar. Tidak boleh meninggalkan muzdalifah kecuali bagi orang yang lemah seperti wanita, anak-anak dan orang-orang yang bersama mereka, atau para petugas haji, maka diboleh bagi mereka untuk meninggalkan muzdalifah pada malam hari apabila bulan telah hilang.
4 - Apabila telah selesai mendirikan shalat subuh, disunnahkan untuk datang ke masy’arul haram kemudian menghadap kiblat dan memperbanyak dzikir, takbir dan berdo’a mengangkat tangan. Aktifitas tersebut dilakukan hingga datang waktu isfar yaitu ; waktu dimana cahaya fajar mulai terang namun sebelum terbit matahari, dimanapun tempat di muzdalifah yang digunakan untuk bermalam hukumnya boleh, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “aku bermalam disini (muzdalifah), semua tempat di muzdalifah adalah tempat untuk bermalam (mabit)” [HR. Muslim]
5 - Apabila seseorang hendak bertolah dari muzdalifah disunnahkan untuk mengumpulkan tujuh batu kerikil untuk melempar Jamarat pada hari pertama (tasyriq), adapun hari-hari setelahnya maka mengumpulkan batu-batu tersebut di mina, dan diperbolehkan mengumpulkan batu kerikil dimana saja
1 - Para jamaah melaksanakan shalat fajar di Muzdalifah, dilanjutkan dengan dzikir dan doa sampai sesaat sebelum matahari terbit.
2 - Jama’ah haji bertolak dari muzdalifah menuju mina sebelum terbit matahari. Sambil memperbanyak lafazh talbiyah, dan disunnahkan mempercepat langkah apabila sampai di lembah muhassir, adalah sebuah lembah yang terletak antara muzdalifah dan mina. Dan apabila jama’ah telah sampai di mina maka diwajibkan mengerjakan ibadah hari ‘ied, yaitu semua ibadah haji ; melempar jamratul ‘aqabah, Mencukur atau memotong rambut, thawaf, dan sa’i
3 - Apabila para jama’ah telah sampai di mina kemudia menuju jamratul ‘aqabah, yang merupakan jamarat yang terakhir dari arah mina, dan jamratul ula dari arah mekah. Apabila telah sampai di jamarat, maka jama’ah tidak melafazhkan talbiyah lagi, dan memulai dengan melempar tujuh batu kerikil secara berturut-turut, dan bertakbir pada setiap kali lemparan. Waktu melempar dimulai pada subuh hari ‘id. Apabila melempar sebelum subuh atau akhir malam hukumnya sah, dan batas waktu melempar hingga terbit fajar pada hari ke 11.
- Dilarang bagi seorang muslim untuk menyakiti saudaranya yang juga melaksanakan ibadah haji ketika melempar jamarat, dan menunaikan semua ibadah-ibadah haji.
- Kepada setiap jema’ah haji agar memastikan lemparannya mengenai lubang jumrah . Sebagian orang salah dan beranggapan bahwa melempar pada tiang yang terpancang di lubang jumrah dengan demikian ia tidak melempar di tempat lemparan. sebagian yang lain melempar dari tempat yang jauh dan tidak mengenai sasaran, hal semacam ini belum dianggap menunaikan kewajiban melempar.
- Dilarang berlebih-lebihan dalam melempar, seperti melempar dengan menggunakan batu yang terlalu besar atau dengan sepatu. Disunnahkan melempar dengan batu yang berukuran lebih besar sedikit dari kurma, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu: “Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melempar jumrah dengan batu semisal batu khodzaf.” [HR. Muslim, batu khadzaf adalah batu kerikil kecil yang bisa diipegang dengan dua jari, yang digunakan untuk melempar jumrah]
- Apabila ia melemparkan semua batu sekali lempar, maka hal tersebut baru dianggap satu kali lempar, Lemparan harus sampai ke arah tempat lempar.
4 - Mencukur habis rambut, atau memendekkan. Lebih afdhal apabila dicukur habis. Dan bagi perempuan memendekkan rambutnya seukuran ujung jarinya.
5 - Berangkat menuju kota Makkah untuk melakukan thawaf ifadhah. Tidak diwajibkan idhthiba’ ketika thawafa ifadhah. Setelah selesai melaksanakan thawaf, jika memungkinkan disunnahkan mendekati maqam ibrahim ‘alaihissalam untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka’at dibelakang maqam tersebut. Pada thawaf ifadhah tersebut lebih afdhal untuk melepaskan pakaian ihram, setelah melempar dan mencukur rambut dan mengenakan pakaian biasa dengan menggunakan parfum. Berdasarkan hadits dari ‘aisyah radhiyallahu ‘anhu ; “aku pernah memberi wewangian ketika beliau hendak memakai pakaian ihram dan setelah melepaskan pakaian ihram sebelum beliau melakukan thawaf di ka’bah.” [Muttafaq ‘Alaih]
6 - Waktu pelaksanaan thawaf ifadhah ; setelah terbit matahari pada hari ‘id. Boleh melakukannya sebelum terbit fajar pada malam ‘id, bagi yang ingin cepat berangkat dari muzdalifah karena sebab tertentu, sakit, para wanita yang membawa anak , atau petugas haji. Dan diperbolehkan menundanya hingga akhir hari ‘id akan tetapi hal tersebut menyelisihi sunnah.
7 - Bagi orang yang mengerjakan haji tamattu’ diwajbkan sa’i antara shafa dan marwah setelah melaksanakan thawaf ifadhah. Adapun bagi haji ifrad dan qiran jika telah melakukan sa’i setelah thawaf qudum . tidak diwajibkan baginya untuk sa’i setelah thawaf ifadhah. Apabila telah selesai mengerjakan thawaf ifadhah dan sa’i, maka selesailah seluruh rangkaian ibadah pada hari ‘id, dan kembali ke mina untuk bermalam pada malam ke sebelas.
Disunnahkan tertib dalam melaksanakan ibadah pada hari ‘id sebagai berikut: melempar, menyembelih, Mencukur rambut, thawaf, dan sa’i. Diperbolehkan mendahulukan salah satu rangkaian tertib ibadah pada hari ‘id tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi keringanan. Apabila bercukur terlebih dahulu baru kemudian melempar maka hajinya sah, demikian juga dengan menyembelih terlebih dahulu baru melempar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah ditanya tentang mendahulukan atau mengakhirkan rangkaian ibadah pada hari ‘id, namun beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “kerjakanlah, tidak ada kesulitan pada ibadah-ibadah yang dilakukan pada hari itu” [Muttafaq ‘Alaih]
Tahallul awal dan tahallul tsani: . . .
Tahallul awal : adalah hal yang membolehkan seseorang dari segala yang diharamkan ketika berihram kecuali berhubungan suami istri, mencumbuinya, atau akad nikah hal ini tidak dibolehkan. Tahallul awal dilakukan setelah melempar jumrah ‘aqabah, mencukur atau memendekkan rambut, thawaf dan sa’i.
Tahallul tsani : yaitu diperbolehkannya seseorang melakukan segala yang diharamkan karena berihram. Setelah melakukan semua rangkaian ibadah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ada tiga hari yaitu: tanggal 11, 12, dan 13 bulan dzulhijah, dinamakan dengan hari tasyriq, karena pada hari tersebut hewan-hewan kurban disembelih ditengah terik matahari. Sabda Rasululla shallallah ‘alaihi wasallam : “ sesungguhnya hari ini adalah hari makan dan minum serta hari berdzikir kepada Allah” [HR. Abu Dawud]
Diwajibkan bermalam di mina pada malam 11 dzulhijah, sementara pada siang harinya setelah tergelincir matahari, para jama’ah haji melempar di tiga jamarat. setiap jumrah terdiri dari tujuh kali lemparan. [Yaitu tiga lubang yang mana disetiap lubang ada satu tiang terpancang, jamarat berada di ujung mina dari arah mekah, yang pertama jumrah sughra , wustha, kemudian jumrah kubra yaitu jumrah ‘aqabah, yang berada di perbatasan mina dari arah kota mekah.]
Cara Melempar Jumrah . . .
Dimulai dari jumratul ula: Melempar dengan tujuh kali lemparan secara berturut-turut, sambil bertakbir setiap melempar satu batu kerikil, Lemparan harus mengenai lubang, kemudia agak bergerak maju sedikit dan berdo’a sambil mengangakat tangan.
Kemudian jumratul wustha : melempar sebagaimana yang dilakukan pada jumrah ula, dan berdo’a setelahnya sambil mengangkat tangan
Kemudian jumratul ‘aqabah : melempar dengan tujuh kali lemparan, dan tidak disunnahkan setelahnya berdo’a
diwajibkan bagi jamaah haji untuk bermalam di mina pada malam 12 dzulhijjah. Apabila matahari telah tergelincir, maka para jamaah melakukan pelemparan jamarat seperti hari ke 11. Apabila ada jamaah yang ingin buru-buru, maka ia melempar dan keluar dari mina sebelum matahari terbenam. Jika matahari terbenam dan ia tetap di mina , bermalam dan melempar jamarat pada hari ke 13 , maka itu lebih baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,“barang siapa yang ingin mempercepat (meninggalkan mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya dan barang siapa mengakhirkannya tidak ada dosa (pula) baginya..“. (Al-Baqarah: 203).
Yang dimaksud dengan dua hari pada ayat tersebut adalah dua hari tasyriq yaitu tanggal 11 dan 12 dzulhijjah, atau menunda hingga menyempurnakan hingga hari ke 13
Setelah matahari tergelincir, kembali melempar jamarat seperti hari-hari sebelumnya, hingga selesai waktu melempar pada waktu terbenam matahari pada hari ke 13
Diperbolehkan bagi jama’ah haji untuk menunda melempar jamarat satu hari setelah tanggal 11, atau menundanya hingga hari akhir dari har-hari tasyriq yaitu hari ke 13, karena semua hari tasyriq adalah waktu melempar jumrah
Ia harus melempar jamarat untuk hari pertama kemudian balik lagi ke jumrah sughra melempar hari kedua demikian seterusnya, pada saat matahari tergelincir
Apabila seseorang ingin berangkat keluar kota mekah, maka wajib baginya untuk melakukan tawaf wada’, ia termasuk kewajiban haji, tidak sa’i setelahnya. Kewajiban tawaf wada’ gugur bagi wanita haidh dan nifas.
Dibolehkan menunda tawaf ifadhah dan melakukannya di tawaf wada’, namun hal demikian menyelisihi sunnah, hukumnya sah dengan syarat ia berniat tawaf ifadhah dan melakukan sa’i setelahnya.
Hikmah di Balik Disyari’atkannya Tawaf . . .
Rahasia dibalik perintah tawaf, sa’i dan melempar jamarat adalah dalam rangka dzikir kepada Allah.
1 - Jika seorang yang berumrah sampai di Miqat makani, disunnahkan untuk mandi, memakai wewangian, mengenakan pakaian ihram dan melafazkan niatnya dengan mengucapkan, “Labbaika umratan.” (Aku penuhi panggilanmu untuk berumrah).
2 - Ia memulai talbiyah dengan mengucapkan,“Labbaika allahumma labbaika, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan nikmata laka wal mulku la syarika laka“ (Aku memenuhi paggilan-Mu ya Rabb aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagimu sesungguhnya pujian dan semua nikmat adalah milikmu demikian pula kekuasaan. Tidak ada sekutu bagi-Mu). [HR.Bukhari] Dan ia tetap talbiyah sampai ia melihat Baitullah dan menyentuh Hajar Aswad.
3 - Setelah itu ia masuk ke Masjid Al-Haram dengan mendahulukan kaki kanannya sambil membaca doa masuk masjid.
4 - Ia berhenti talbiyah dan memulai thawaf. Dimulai dari Hajar Aswad jika memungkinkan untuk mencium atau menyentuhnya. Jika, tidak maka cukup menunjuk ke arahnya.
5 - Menjadikan Ka’bah di sebelah kirinya dan mulai mengelilinginya sebanyak tujuh kali dimulai dari Hajar Aswad dan di akhir di Hajar Aswad pula.
6 - Disunnahkan bagi pria untuk berlari-lari keci di tiga putaran pertama, berlari-lari kecil maksudnya adalah berjalan cepar dengan langkah pendek, dan melakukan Idthibaa’ yaitu membuka pundak sebelah kanan, sehingga kain selendang ihram berada di bawah ketiak kanannya, dan sisi lainnya berada di atas pundak kirinya.
Diantara syarat-syarat sahnya tawaf yaitu; niat, suci, menutup aurat, tawaf sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad, Ka’bah di sebelah kiri, terus berputar mengelilngi Ka’bah, kecuali iqamat sudah dikumandangkan, atau ada jenazah, maka ia salat, lalu bangun kembali dari posisi semula untuk melanjutkan tawafnya. Tawaf dilakukan disekitar Ka’bah, bukan di dalam Hijr Ismail, maka tawafnya tidak sah, karena Hijr Ismail adalah bagian dari Ka’bah.
7 - Selama melakukan thawaf ia bebas berdoa apa saja. Dan ketika sejajar dengan Rukun Yamani, ia menyentuhnya dan bertakbir. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad dianjurkan mengucapkan doa “Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azabannar“ (Ya Allah limpahkanlah kebaikan duniawi kapada kami dan limpahkan pula kebaikan akhirat kepada kami dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka). [HR. Abu Dawud]
8 - Setelah seorang selesai pada putaran ketujuh, maka ia kembali menutup pundak kanannya tidak beridhthibaa’, karena idthibaa’ hanya disunnahkan ketika tawaf umrah dan tawaf qudum. Kemudian menuju maqam Ibrahim ‘alaihissalam jika memungkinkan lakukan salat dua raka’at dibelakang maqam, pada raka’at pertama setelah Al-Fatihah membaca surah Al-Kafirun, dan pada raka’at kedua membaca surah Al-Ikhlash. Jika hal ini tidak bisa dilakukan, maka seseorang bisa salat dimana saja dibelakang maqam.
1 - Dilarang bagi seorang muslim untuk menyakiti orang lain yang sedang tawaf, dan mempersulit diri demi menyentuh Hajar Aswad atau menciumnya, juga dilarang untuk berlari-lari kecil jika itu mengganggu orang lain.
2 - Berdo’a apa yang mudah baginya pada saat tawaf, karena dalam tawaf tidak ada dzikir atau do’a khusus, selain apa yang telah dijelaskan. Jika seorang yang tawaf hanya membaca Al-Qur’an maka yang demikian tidak mengapa.
3 - Idthibaa’adalah sunnah pada tawaf umrah atau tawaf qudum, di setiap putaran.
4 - Bagi wanita dilarang menampakkan perhiasannya, bau parfum, meninggikan suara ketika berdzikir dan berdo’a
9 - Setelah itu ia mendekati area Shafa sambil membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syiar Allah, maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 158)
10 - Setelah itu ia naik ke bukit Shafa, menghadap kiblat, sambil mengangkat kedua tangannya seraya bertakbir dan bertahmid dan membaca, “La ialaha illallah wahdahu la syarika lahul mulku wa lahul hamdu wa hua ala kulli syain qadiir, aayibuuna taaibuuna aabiduuna saaihuuna lirabbina haamiduuna, shadaqallahu wa’dahu wa nashara abdahu wa hazamal ahzaaba wahdahu.” [HR. Bukhari] (Tidak ada dzat yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak ada sekutu baginya, kepunyaannyalah segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu, kami kembali, kami bertaubat, kami beribadah dan sujud serta memuji Allah. Allah telah memenuhi janji-Nya dan ia telah menolong hamba-Nya serta Dia telah menghinakan musuh-mushuNya). Kemudian ia berdoa kepada Allah. Dzikir ini dibaca tiga kali dan masing-masing disambung dengan doa. Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “lalu ia berdo’a di Marwa seperti yang dilakukan di bukit Safa” [HR. Muslim]
11 - Kemudian ia turun menuju bukit Marwah sambil mempercepat langkahnya di antara dua tanda berwarna hijau [Yaitu dua tanda yang digunakan sebagai tanda bahwa Siti Hajar mempercepat langkah ketika berlari antara safa dan marwa] , lalu kembali menuju Shafa.
12 - Sa’i antara Shafa dan Marwah dilakukan sebanyak tujuh kali. Disunnahkan ketika melakukan sa’i dalam keadaan suci, namun jika ia dalam keadaan berhadats sa’inya sah. Juga disunnahkan berurutan antara sa’i dan tawaf.
13 - Setelah melaksanakan sa’i, ia memendekkaan atau menggunting rambutnya. Bagi kaum wanita dianjurkan memotong sepanjang satu ruas jari. Bagi pria disunnahkan untuk menggundul kepalanya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, “Ya Allah ampunilah mereka yang menggundul kepalanya. Para sahabat berkata,“Orang yang memendekkan rambutnya juga ya Rasulullah?’ Beliau bersabda, “Ya Allah ampunilah mereka yang menggundul kepalanya.” Para sahabat berkata, “Orang yang memendekkan rambutnya juga ya Rasulullah?” Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali kemudian mengatakan dan orang yang memendekkan rambutnya.” [HR. Bukhari]
14 - Kemudian ia melakukkan tahallul, sekaligus menandakan pelaksanaan umrahnya telah selesai.
Pelaksanaan tawaf dan sa’i bagi kaum wanita sama halnya dengan kaum pria, kecuali ia tidak boleh berlari-lari kecil pada tawaf dan tidak boleh berjalan cepat pada dua tanda hijau, dan tidak mencukur rambutnya, akan tetapi hanya memotong ujunng rambutnya sepanjang ujung jari.